“Apa kau tau tentang
legenda Arthur dan 12 kesatria meja bundar ? Legenda yang berasal dari inggris
ini sebenarnya memiliki cerita lain di dalamnya. Cerita tentang dua dunia.
Dunia yang disebut sebagai Dunia Myth, dan Dunia yang disebut sebagai
Dunia Sihir. Dua peradaban yang terbentur karena keseimbangan antar dimensi
yang terpecah, menyebabkan perang besar yang disebut sebagai Akhir dunia.
Namun, apakah dunia berakhir setelahnya ? Tidak. Perang ini berlangsung cukup
lama. Perang antara penghuni dunia sihir, kaum penyihir yang dipimpin oleh Sang Raja, Arthur
Pendragon. Dan penghuni dunia Myth, kaum barbaric yang hingga kini tidak
diketahui siapa pemimpinnya. Walaupun perang berada di dunia penyihir, kaum
barbarik mampu memukul mundur. Mendesak kaum penyihir hingga ke titik darah
penghabisan. Api menjalar menutup seluruh dunia. Perpecahan terjadi antar kaum
sendiri. Menyebabkan penghianatan, pembunuhan tak berdasar.
“Lalu, perang sampai
di titik akhirnya. Arthur dengan sebelas orang kepercayaannya sudah terdesak.
Bahkan Sir Lancelot sudah meminta kepada Sang Raja untuk menarik pasukannya dan
mundur. Setidaknya mereka selamat di hari ini untuk membalas di esok hari.
Namun Sang Raja menolak. ‘Tak ada kemenangan tanpa pengorbanan’. Disaat itulah Sang
Penyihir agung mulai menampakkan dirinya. Memperkenalkan dirinya pada dunia.
Merlin, Namanya. Dibantu dengan Sang Penyihir disisinya, Arthur berhasil
menaklukan kaum barbarik dan mengambil alih seluruh kekuasaan atas dimensi ini.
Tak lama setelah itu perang pun berakhir.
Sesaat setelah perang
itu berakhir, Dunia Kembali damai. Kehidupan mulai tertata dari awal. Namun
bagaimana dengan nasib kedua belas kesatria ?. Mereka tengah sibuk dengan sosok
yang dikenal sebagai Merlin ini. Ia menghilang, tanpa jejak. Arthur yang menjadi
orang terdekat dengannya menyuruh ke-sebelas kesatria itu untuk mencarinya. Dan
mereka pun tak pernah terlihat lagi setelah itu.
“Tapi ma… mereka
menemukannya kan ?”
Mendengar pernyataan
itu sang ibu hanya tersenyum lalu berkata “ Hari sudah malam. Ini waktunya kamu
tidur”. Ia mengecup dahi sang putra lalu ikut tidur disebelahnya.
Brak !!
“Fa’I !!!”
Empunya nama
terbangun dari tidurnya, menatap papan dengan pandangan yang masih buram dan
pening menghuni kepalanya. Omelan dari gurunya pun datang. Fa’I yang masih
setengah mengantuk hanya bisa mengiyakan ucapan gurunya. Begitu sang guru sudah
puas dengan pelampiasannya ia pergi meninggalkannya. Fa’I hanya duduk tenang
setelahnya, dengan mata menatap papan, namun pikiran ntah kemana.
Fa’I adalah salah
satu murid dari sekolah sihir, sekolah yang ditujukan bagi mereka yang ingin
menjadi seorang penyihir. Ribuan calon penyihir muda dilatih untuk melindungi
dunia dari ancaman yang akan datang. Banyak orang mengira bahwa semua makhluk
tak dikenal seperti ; naga, kraken, bidadari, tidaklah ada. Sebenarnya mereka
ada, namun eksistensinya di dunia ini cukup rendah. Manusia sudah mendominasi
lebih dari 70% populasi di planet ini.
“Fa’I, coba praktekan !”
Guru pun menberi
perintah disaat Fa’I masih dalam keadaan tidak siap. Membuatnya gelagapan
hingga merapalkan mantra yang salah.
“saya menyuruhmu
untuk merapal mantra bola api. Bukan mantra petir. Kenapa yang keluar malah
petir ?” Serunya
“Haha… dasar murid
gagal. Mending berhenti deh, gausah sekolah sini lagi”
“Hush. Kalian tidak
boleh seperti itu, walaupun ucapan kalian benar tidak berarti kalian bisa
seenaknya”
[kata katamu seakan
akan menyuruhku makin menerimanya] pikir Fa’i
“Ya sudah, Fa’I kamu
pergi keruang hukuman sepulang sekolah.”
“kenapa ?”
“karena kamu tidur
tadi”
Fa’I hanya mengiyakan
perintahnya dengan wajah yang lesu.
“Ini sudah yang
ketiga kalinya kamu ikut kelas hukuman. Ada dengan dirimu Fa’I ?” ucap kepala
sekolah ini
Saat ini Fa’I tengah
berada di ruang kepala sekolah. Karena ia sudah tiga kali melanggar aturan
akademi ia pun berakhir di sana. Ia berdiri didepan meja kepala sekolah.
Wajahnya menunjukkan tidak peduli. Ia hanya ingin cepat cepat pergi dari
ruangan itu. Kepala sekolahnya sok sibuk dengan membaca laporan hukuman Fa’I .
Padahal, dengan jelas disana hanya ada selembar kertas kecil yang bertuliskan
“Tidur saat kelas”.
“Aku tau nilaimu
dalam sihir rendah, namun bukan berarti itu buruk.”
“setidaknya
berusahalah agar tidak terkena hukuman.”
Fa’I memalingkan
pandangannya
“hah… mau bagaimana
lagi, besok saya ingin orang tuamu menghadap ke saya jam sepuluh”
Fa’I sontak menolak
permintaannya
“kumohon pak, apapun
selain itu”
“Maaf nak, tapi tak
ada cara lain. Berikan ini pada orang tuamu, besok saya tunggu”
Tatapannya menjadi
suram. Ia mengangguk lemah, lalu pergi dari ruang kepsek dengan secarik kertas.
Sesampainya diluar ruangan, tangan kirinya mengepal begitu erat hingga keluar
darah dari tangannya kirinya. Ia melihat tangan kirinya yang bersimbah darah,
lalu mendesah perlahan. Mia mengambil secarik kain dari sakunya lalu
melilitkannya pada tangan kirinya itu.
*
Pintu berderit.
Cahaya merambat memasuki ruangan. Menyisahkan sebuah bayangan seorang remaja.
Ia masuk dan berusaha untuk menutup pintu perlahan. Anak itu berteriak,
berusaha memancing perhatian sang ibu. Namun tak ada tanda tanda jawaban dari
ibunya. Ia hanya menghela napas, lalu menaruh surat panggilan tadi di meja
ruang makan dan pergi kekamarnya, mengurung diri hingga esok
Silau cahaya pagi
membangunkannya. Ia melihat kalender di dinding dan sadar. Ini masih terlalu
pagi untuk bangun di hari minggu. Namun, ia berencana untuk bangun dan
membuatkan sarapan hingga, dengan kasar pintu didobrak. Muncul seorang pria
paruh baya. Dari wajahnya, terlihat bahwa ia tengah marah besar.
“apa ini ?” tanyanya
dengan menunjuk surat panggilan di tangannya
“kau berulah lagi ?
ada apa denganmu ? masih belum cukup ha membuat kita sengsara ?”
“harusnya itu aku
yang bilang…”
“apa katamu ?”
Pria itu pun mulai
mengangkat tangannya hendak memukul, namun istrinya menghentikannya. Menahan
tangan yang sudah mengacung siap. Tanpa rasa kasihan ia mendorong istrinya
cukup keras lalu menamparnya
“apa lagi ? kau ingin
berulah juga ? tidak ibu tidak anak sama saja. Aku sudah pusing dengan ini
semua” ucapnya lalu pergi.
Ibu anak itu
menghampirinya lalu bertanya “kau tak apa ?”
Namun anak itu hanya
diam. Ia tak bereaksi sama sekali. Ini sudah biasa baginya. Dipukuli hanya
karena hal remeh. Biasanya bisa lebih buruk dari ini.
“Mama buatkan sarapan
ya. Nanti kamu makan di bawah” ucapnya
Posting Komentar